Wednesday, June 10, 2009

Fragmen Cerpen "Haslina" (I)

Nota : Cerpen tentang angin, kolam, bulan.. juga tentang hilang dan kehilangan, "Haslina" adalah tulisan Sasterawan Negara Datuk Usman Awang.


Dia seorang pencinta bulan. Setiap purnama raya yang indah dan cemerlang mendatang, dia duduk di tepi kolam. Kolam itu tidaklah begitu bersih, tidak ada yang menguruskannya. Segala tumbuhan yang hidup di dalam kolam itu atau yang di sekelilingnya, tumbuh dengan tidak ditanam- ertinya tumbuh sendiri. Demikian itulah pula rasa cintanya kepada bulan- tumbuh dengan sendirinya, dengan tidak ditanam oleh sesiapa pun.

Kolam itu amat dalam, tetapi berapakah dalamnya, tidak pula pernah diukur orang. Hanya dialah yang selalu ke kolam itu. Kolam yang indah pada waktu malam bulan terang.

Dan keindahan itu menyinari hatinya dan seluruh perasaannya.

Teratai yang hidup segar di kolam itu jarang sekali mengeluarkan bunganya. Kalaupun ada bunganya hanya setangkai dua.Tidak pernah lebih daripada itu. Dan bunga-bunga itu amat disayanginya. Tetapi sukar untuk dibelai kerana bunga teratai itu biasanya tumbuh dan menguntum di tengah-tengah kolam. Dia menikmati kesayangannya itu dari jauh dengan matanya. Matanyalah yang menyampaikan segala penglihatan yang indah itu untuk dirasakan oleh hati dan jiwanya.

Itulah Haslina, gadis kesayangan kampung kami.

Dia seorang gadis yang sederhana - sederhana dalam geraknya, dalam tuturnya dan dalam segala penghidupannya. Kebetulanlah, kesederhanaannya itulah yang melahirkan kebesaran kasih sayang saya kepadanya. Matanya seperti jernihnya kolam kesayangannya yang dipandang pada waktu malam bulan terang. Tangannya benar-benar seperti bunga teratai - melampai melambai-lambai.

Ayahnya sudah lama meninggalkan dia. Meninggal dunia sewaktu pemerintahan Jepun. Tinggallah dia bersama ibu dan abangnya. Abangnya pula baru-baru ini telah meninggal dunia dalam suatu keadaan yang sungguh mengharukan hati - korban perang di tanah airnya.

Tinggallah Haslina bersama ibunya.

Sejak lama dulu - waktu marhum ayahnya masih ada lagi - ibunya sudah bekerja di istana. Jadi, kematian suaminya dan anak lelakinya tidaklah menjadikan mereka melarat benar. Di istana, ibunya mendapat gaji yang baik juga. Cukuplah untuk menyara dirinya dan anaknya yang sudah mulai menjadi dara seri kayangan seluruh kampungnya.

Kalau ingin bertemu Haslina, datanglah ke kolam itu pada waktu bulan purnama raya. Kadang-kadang dia menyanyi kecil dan meskipun perlahan-lahan - seolah-olah untuk dirinya sendiri - angin yang baik budi itu menolong membawakan suaranya ke sekitarnya. Angin yang baik budi itu menolong juga melenggok-lenggokkan bunga teratai kesayangannya. Juga daun-daun kayu yang tumbuh di sekitar kolamnya.

Lalu jadilah simfoni yang sungguh-sungguh tersusun dengan baiknya.

Apabila awan berarak di bawah bulan purnama, maka samar-samarlah kelihatan kolam itu. Juga tubuh Haslina yang remaja itu menjadi kabur-kabur dipandang. Apabila daun-daun kayu yang menaunginya itu menahan cahaya purnama raya, maka kelamlah lagi tubuhnya lalu merupakan satu bayang-bayang yang suram.

Daripada kakak, saya mendengar cerita yang lanjut tentang Haslina. Kakak selalu ke rumahnya dan menjadi jiran yang terbaik bagi ibu Haslina dan Haslina sendiri.

Sukar untuk saya percayai cerita daripada kakak. Tetapi kakak tidak pernah berbohong. Dan pastilah dia tidak akan mengecewakan hati saya - adiknya sendiri. Tetapi mengapakah hati saya? Saya tidak pernah bercakap-cakap dengan Haslina. Mengapa dibawa-bawa soal hati? Mana tahu hati orang, entahkan sudi gerangan tidak.

Apalagi ibunya kami anggap sebagai orang istana, meskipun hanya bekerja di istana. Di kampung kami, kalau orang sudah dapat masuk ke istana, itu tandanya dia sudah terhormat dah harus dihormati dan disegani. Apalagi kalau sudah dapat bekerja di istana.

Saya pun waktu itu, belumlah ada pekerjaan yang tetap. Kalau musim ke sawah, turunlah ke sawah menajak. Kalau musim menyemai, pergilah menyemai. Apabila musim mengubah, pergilah mengubah. Dan sampailah ke musim mengetam.

Tidak ada perjaan tetap bererti tidak adalah pula pendapatan yang tetap. Kadang kala bersama ibu pergi menetak rumbia dan apabila sudah disisik daunnya, ibu menjalinnya menjadi atap. Atap itulah saya jual borong di kedai Teh Poo.

Besar benar keinginan hati saya untuk mengukur dalam dangkalnya hati Haslina. Meskipun kail panjang sejengkal, hasrat ingin menduga lautan hatinya amatlah kuat menyala. Kail sebentuk umpan seekor akan saya berikan untuk pancing hidup Haslina.

Lama saya berfikir. Apalah nanti dikata orang? Kalau makan pun saya, disebut juga makan ditanggung keluarga, kalau berpakaian pun saya, dikatakan juga kain baju belian ibu, kalau berbantal pun tidur saya, dianggap juga bantal pemberian ibu, dan kalau berjalan bertemasya pun saya, dicakapkan juga daripada wang pemberian ibu, awak sendiri tak sanggup mengadakannya, bagaimana akan menanggung anak muda (gadis) orang?

Tetapi saya terkenang pula kepada cerita kakak tentang Haslina. Benarkah cerita kakak itu? Atau hanya rekaan untuk dinding saya mendekati Haslina kerana malu adiknya pemuda kampung tidak ternama, sedang Haslina dara molek kesayangan istana, dipuja oleh seluruh kampung kami?

Serba payah dan serba susah.

2 comments:

cat said...

luv this so much...

RK said...

wait for the next episode.. :)